Senin, 13 Maret 2017

CERUPUT makalah : HUKUM-HUKUM SYARA’



Makalah
HUKUM-HUKUM SYARA’
Di ajukan untuk memenuhi tugas,
Materi ushul fiqih
Dosen Pengampu H. Ruslan Lc. Ma
 
         
 Disusun oleh Kelompok VI
Nawafil makhatir
Rb. Abd. Ghani
Sabaruddin
syarifuddin


FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) III B
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
(INSTIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP JAWA TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2015-2016 M.






BAB I
PEMBAHASAN
A.      Latar belakang
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dan sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam kajian ini, maka lebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam. Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang al-hukm, al-mahkum fih/mahkum bih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum ‘alaih (mukalaf). Oleh karena itu, pada bab II akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B.       Rumusan masalah
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?








BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian hukum syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab (kalam) Allah Swt yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir(kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Kitab Allah yang dimaksud dalam definisi di atas ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalahal-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melaluikalam lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah Swt. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung olehkalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia.
Kalam Allah adalah hukuman baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung seperti hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidangtasyri’ tidak lain petunjuk dari Allah Swt juga.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadits ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian kitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti sunnah Rasulullah Saw, ijma’ dan dalil-dalil syara’ lain yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya.
Sunnah Rasulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena merupakan petunjuk-Nya juga sesuai dengan Firman Allah Swt:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm/53: 3-4)
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, kitab Allah dalam definisi hukum di atas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi di atas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misalnya firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (Al- Maa’idah/5: 1)
Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang populer disebut sebagai ayat-ayat ahkam dan hadits-hadits ahkam.
Bila dicermati definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam, yaitu:
a.         Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf  yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.        Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilarang itu sifatnya haram.
c.         Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.        Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalakan itu sifatnya  makruh.
e.         Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.         Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.        Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.        Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i.          Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j.          Menetapkan sesuatu sebagai kriteria “azimah dan rukhasah.
Pembagian ayat hukum dan hadits hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang cirri-ciri ayat ayat ahkam dan hadits ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam atau hadits ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi adalah:
Pertama, bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh, istilah hukum di samping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat atau hadits-hadits hukum, juga digunakan untuk menyebut sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram, mandub, makruh dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal dengan hukum syara’. Dengan demikian, hukum shalat, misalnya adalah wajib dan meminum khamr adalah haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadits karena melihat kepada dalil dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan pemakaiannya kepada sifat perbuatan mukalaf yang terkena hukum karena melihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah hukum kepada teks ayat ahkam dan teks hadits ahkam dapat dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukalaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam perkembangannya, kalangan Hanafiyah, seperti di kemukakan Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung mengartikan hukum dengan sifat perbuatan mukalaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fikih dari kalangan mayoritas ulama. Di bawah ini akan diuraikan pembagian hukum bila dilihat kepada hasilnya. Perbedaan pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah  qadim karena merupakan kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu sifatnya. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap perbuatan manusia.
Kedua, seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam atau hadits ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul itu ada yang secara langsung ditunjukkan oleh teks Al- Qur’an dan Sunnah dan ada pula yang secara  tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadits yang disimpulkan oleh para ahlinya dengan kegiatan ijtihad, seperti yang ditetapkan  dengan ijma’, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[1]
B.   Pembagian hukum syara’
Bertitik tolak dari hukum syar’i diatas, maka hukum syara’ itu dapat dibedakan menjadi dua:[2]
1. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntunan dan pilihan, penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf.
Macam-macam hukum taklifi:
a)         Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd. al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib adalah sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan diancan dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk dilakukan (wajib) bisa diketahui langsung dari bentuk perintah atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang ada dalam suatu redaksi, misalnya adanya ancaman atas diri orang yang tidak melaksanakannya. Misalnya, shalat fardhu lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib dalam arti mesti dilaksanakan, berdosa siapa yang meningglkannya. Hukum wajib shalat itu diketahui dari adanya perintah dalam Al-Qur’an dalam surat al-‘Ankabut ayat 45:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hukum wajib ditunjukkan oleh berbagai perintah (amar), baik secara langsung atau oleh qarinah-qarinah yang ada dalam suatu redaksi.
b)        Sunnah (nadb)
Kata mandub dari segi bahasa berarti”sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut  istilah adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menunjukkan pengertian yang sama.
c)         Haram
Kata haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi Ushul Fiqh, kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang  yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larangan berzina dalam firman Allah Swt:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’/17: 32)
Larangan membunuh dalam firman Allah Swt:
رحيما بكم كان الله إن أنفسكم تقتلوا ولا
“… Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang Kepadamu”. (QS. An-Nisa’/3: 29)
Dalam kajian Ushul Fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
d)        Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meniggalkannya, di mana bilamana ditinggalkan akan mendapatkan pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung secara berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
e)         Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “ sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. “ menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, mubah yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Misalnya, ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan dikhawatirkan tidak lagi akan dapat hidup bersama, maka boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan petunjuk Allah dalam firman-Nya:
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah/2:229)
2. Hukum wadh’i
Hukum wadh’i adalah titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Macam-macam wadh’i:
a)         Sebab
Sebab adalah sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi.
b)        Syarat
Syarat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi.
c)         Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang berlangsungnya hukum taklifi.
d)        Shah
Shah adalah akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sesudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’.
e)         Bathal
Bathal adalah akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’.
f)         ‘Azimah
Pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya.
g)        Rukhshah
Rukhshah adalah pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu.






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Adapun pembagian hukum syara’, yaitu:
1.         Hukum taklifi
Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a.         Wajib
b.        Haram
c.         Sunnah
d.        Makruh
e.         Mubah
2.         Hukum wadh’i
Hukum wadh’i dibagi menjadi tujuh macam, yaitu:
a.         Sebab
b.        Syarat
c.         Mani’
d.        Shah
e.         Bathal
f.         ‘Azimah
g.        Rukhshah






DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta. Edisi Pertama.  
Wahhab, Abdul. 1998. Ilmu Ushul Fikih ( Kaidah Hukum Islam). Pustaka Amani: Jakarta.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: logos wacana ilmu.


[1] Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 1. (Jakarta: logos wacana ilmu. 1997). Hal: 281
[2] Ibid. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 1. Hal:283

Tidak ada komentar:

Posting Komentar