Senin, 13 Maret 2017

CERUPUT makalah : HUKUM-HUKUM SYARA’



Makalah
HUKUM-HUKUM SYARA’
Di ajukan untuk memenuhi tugas,
Materi ushul fiqih
Dosen Pengampu H. Ruslan Lc. Ma
 
         
 Disusun oleh Kelompok VI
Nawafil makhatir
Rb. Abd. Ghani
Sabaruddin
syarifuddin


FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) III B
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
(INSTIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP JAWA TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2015-2016 M.






BAB I
PEMBAHASAN
A.      Latar belakang
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dan sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam kajian ini, maka lebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam. Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang al-hukm, al-mahkum fih/mahkum bih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum ‘alaih (mukalaf). Oleh karena itu, pada bab II akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B.       Rumusan masalah
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?








BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian hukum syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab (kalam) Allah Swt yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir(kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Kitab Allah yang dimaksud dalam definisi di atas ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalahal-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melaluikalam lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah Swt. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung olehkalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia.
Kalam Allah adalah hukuman baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung seperti hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidangtasyri’ tidak lain petunjuk dari Allah Swt juga.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadits ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian kitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti sunnah Rasulullah Saw, ijma’ dan dalil-dalil syara’ lain yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya.
Sunnah Rasulullah dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena merupakan petunjuk-Nya juga sesuai dengan Firman Allah Swt:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm/53: 3-4)
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, kitab Allah dalam definisi hukum di atas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi di atas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum. Misalnya firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (Al- Maa’idah/5: 1)
Bagian awal ayat tersebut adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia, yang populer disebut sebagai ayat-ayat ahkam dan hadits-hadits ahkam.
Bila dicermati definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam, yaitu:
a.         Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf  yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.        Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilarang itu sifatnya haram.
c.         Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.        Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalakan itu sifatnya  makruh.
e.         Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.         Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.        Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.        Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i.          Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j.          Menetapkan sesuatu sebagai kriteria “azimah dan rukhasah.
Pembagian ayat hukum dan hadits hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang cirri-ciri ayat ayat ahkam dan hadits ahkam. Artinya, untuk membedakan mana yang ayat ahkam atau hadits ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi adalah:
Pertama, bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh, istilah hukum di samping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat atau hadits-hadits hukum, juga digunakan untuk menyebut sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram, mandub, makruh dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal dengan hukum syara’. Dengan demikian, hukum shalat, misalnya adalah wajib dan meminum khamr adalah haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan. Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadits karena melihat kepada dalil dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan pemakaiannya kepada sifat perbuatan mukalaf yang terkena hukum karena melihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah hukum kepada teks ayat ahkam dan teks hadits ahkam dapat dilihat ketika membicarakan dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukalaf dapat dilihat ketika membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam perkembangannya, kalangan Hanafiyah, seperti di kemukakan Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung mengartikan hukum dengan sifat perbuatan mukalaf tersebut, sehingga apa yang disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fikih dari kalangan mayoritas ulama. Di bawah ini akan diuraikan pembagian hukum bila dilihat kepada hasilnya. Perbedaan pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah  qadim karena merupakan kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu sifatnya. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah terhadap perbuatan manusia.
Kedua, seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam atau hadits ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul itu ada yang secara langsung ditunjukkan oleh teks Al- Qur’an dan Sunnah dan ada pula yang secara  tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadits yang disimpulkan oleh para ahlinya dengan kegiatan ijtihad, seperti yang ditetapkan  dengan ijma’, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[1]
B.   Pembagian hukum syara’
Bertitik tolak dari hukum syar’i diatas, maka hukum syara’ itu dapat dibedakan menjadi dua:[2]
1. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntunan dan pilihan, penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf.
Macam-macam hukum taklifi:
a)         Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd. al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib adalah sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan diancan dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk dilakukan (wajib) bisa diketahui langsung dari bentuk perintah atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang ada dalam suatu redaksi, misalnya adanya ancaman atas diri orang yang tidak melaksanakannya. Misalnya, shalat fardhu lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib dalam arti mesti dilaksanakan, berdosa siapa yang meningglkannya. Hukum wajib shalat itu diketahui dari adanya perintah dalam Al-Qur’an dalam surat al-‘Ankabut ayat 45:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hukum wajib ditunjukkan oleh berbagai perintah (amar), baik secara langsung atau oleh qarinah-qarinah yang ada dalam suatu redaksi.
b)        Sunnah (nadb)
Kata mandub dari segi bahasa berarti”sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut  istilah adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menunjukkan pengertian yang sama.
c)         Haram
Kata haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi Ushul Fiqh, kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang  yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larangan berzina dalam firman Allah Swt:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’/17: 32)
Larangan membunuh dalam firman Allah Swt:
رحيما بكم كان الله إن أنفسكم تقتلوا ولا
“… Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang Kepadamu”. (QS. An-Nisa’/3: 29)
Dalam kajian Ushul Fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
d)        Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meniggalkannya, di mana bilamana ditinggalkan akan mendapatkan pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab Hanbali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung secara berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
e)         Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “ sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. “ menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, mubah yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Misalnya, ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan dikhawatirkan tidak lagi akan dapat hidup bersama, maka boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan petunjuk Allah dalam firman-Nya:
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah/2:229)
2. Hukum wadh’i
Hukum wadh’i adalah titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Macam-macam wadh’i:
a)         Sebab
Sebab adalah sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi.
b)        Syarat
Syarat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi.
c)         Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang berlangsungnya hukum taklifi.
d)        Shah
Shah adalah akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sesudah terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’.
e)         Bathal
Bathal adalah akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’.
f)         ‘Azimah
Pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya.
g)        Rukhshah
Rukhshah adalah pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu.






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Adapun pembagian hukum syara’, yaitu:
1.         Hukum taklifi
Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a.         Wajib
b.        Haram
c.         Sunnah
d.        Makruh
e.         Mubah
2.         Hukum wadh’i
Hukum wadh’i dibagi menjadi tujuh macam, yaitu:
a.         Sebab
b.        Syarat
c.         Mani’
d.        Shah
e.         Bathal
f.         ‘Azimah
g.        Rukhshah






DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta. Edisi Pertama.  
Wahhab, Abdul. 1998. Ilmu Ushul Fikih ( Kaidah Hukum Islam). Pustaka Amani: Jakarta.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: logos wacana ilmu.


[1] Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 1. (Jakarta: logos wacana ilmu. 1997). Hal: 281
[2] Ibid. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 1. Hal:283

cerupu pas : HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI



FIQIH MUNAKAHAT
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
UNTUK MEMENUHI TUGAS MAKALAH
YANG DIAMPU OLEH: ………….



Oleh: Kelompok
RB.Abd.Gani
Nawafil Makhatir
Sabaruddin
Syarifuddin
Zainul Ulum Al-Hasyimi
Kelas III B

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) III B
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH (INSTIKA)
GULUK-GULUK SEMENEP JAWA TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2015-2016 M.





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam kehidupan berumahtangga, hak dan kewajiban antara dua belah pihak – suami dan istri- harus dipenuhi secara mutlak, agar tercipta hidup yang sakinah mawaddah warahmah. Islam sudah mengatur apa yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban suami – istri, bukan hanya sekedar kebutuhan saja tapi untuk menjalani kehidupan dengan kasih sayang dan sesuai agama Allah.
Oleh karena itu untuk mewujudkan hal itu semua kita dapat memahaminya di dalam makalah ini, yang juga akan menyinggung pendapat para ulama’ atau imam ahli fiqih fuqaha’ agar kita bisa memahami secara penuh dan utuh tentang hak dan kewajiban suami-istri dan mendapatkan keharmonisan dan manisnya berumahtangga. Insyaallah melalui makalah ini, suami - istri dapat menjalankan hak yang didasarkan pada kesadaran bukan sekedar kebutuhan dan kewjiban yang berlandaskan kasih sayang bbbukan sekedar menjalankan tugas belaka. Dan islam telah menjadikan hubungan suami - istri begitu indah jika kita mampu menjalaninya.

B. Rumusan Masalah
1. apa saja hak dan kewajiban suami terhadap istri?
2. apa saja hak dan kewajiban istri terhadap suami?
3. apa hak dan kewajiban bersama suami istri?







BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak Dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
Hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu, sedangkan kwajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. Adapun dalam kehidupan rumahtangga suami mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara lain:
a.    Hak suami terhadap istri yang meliputi:
1. Hak menggauli istri berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
وفي رواية لهما : اذا باتت المراة هاجرة فراش زوجها لعنتها الملائكة حتى تصبح. وفي رؤاية قال رسول الله صلى الله عليه وسلم والذي بيده نفسي ما من رجل يدعوا مرأته الى فراشه فتأبى عليه الا كان الذي في السماء ساخطا عليها حتى يرضى عنها            dan dalam suatu ruwayat “bila seorang perempuan meniggalkan tempat tidur suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi  dan dalam suatu riwayat, Rasulullah saw bersabda: demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, setiap laki-laki yang mengajak istrinya ke hamparannya (atau tempat tidurnya), lantas si istri tidak mau, maka Tuhan yang di langit (atau para malaikat-Nya) marah kepadanya hingga sang suami rela kepadanya.[1]
2. Hak untuk ditaati, menurut hadits riwayat Abu Hurairah yang berbunyi:
وعن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا احدا ان يسجد لأمرت المراة ان تسجد لزوجها
(رواه الترموذى)
dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “bila saja aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka aku akan memerintah seorang perempuan untuk bersujud kepada suaminya.” (H.R. Tirmidzi)[2]
3. Hak tidak mengizinkan laki-laki lain untuk masuk kedalam rumahnya kecuali mendapatkan izin dari suaminya, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah yang berbunyi:
وعن ابى هريرة رضى الله عنه ايضا ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يحل لمراة ان تصوم وزوجها شاهد الا بإذنه، ولا تأذن فى بيته الا بإذنه. متفق عليه
dari Abu Hurairah r.a, “sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: bagi seorang perempuan tidak diperkenankan berpuasa bila suaminya di rumah, kecuali diizinkan oleh suaminya. Tidak juga memberikan izin (orang laki-laki lain) untuk masuk ke rumahnya, kecuali mendapatkan izin daripadanya.” (Muttafaqun Alaihi)[3]
4. Hak untuk menyuruh istri untuk berdiam diri di rumah, sesuai dengan firman Allah :
 فا لصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله...(النساء:34) ...
...maka wanita-wanita yang shalehah adalah yang taat dalam beribadah, memelihara dirinya (di saat ditinggal suaminya) sebagaimana pemeliharaan Allah (kepadanya). (Q.S. An-Nisa’: 34).[4]
5. Hak suami untuk mewathi’atau menggauli, menurut Imam Hambali suami wajib mewathi’ istrinya dalam empat bulan satu kali. Karena, jikalau tidak diwajibkan tidak jadi sumpah Ila’, dan juga nikah itu disyariatkan untuk kemaslahatan suami istri dan menolak bahaya yang akan terjadi pada keduanya. Tapi menurut Imam Syafi’i wajib mewathi’nya satu kali, lain halnya dengan Imam Maliki yang mewajibkan suaminya harus mewathi’ istrinya jika tidak ada halangan.[5]

b. Kewajiban suami terhadap istri meliputi kewajiban kebendaan seperti mahar, nafkah dan kewajiban selain kebendaanan misalnya menggauli istri dengan baik, berkomunikasi dengan baik dan adil;
1. Membayar mahar kepada sang istri. Mahar adalah hak khusus bagi perempuan, Allah memerintahkannya dalam al-Qur’an Q.S. An-Nisa’ Ayat 24:
فاتوهن اجورهن فريضة...(النساء : 24)...
“...berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewjiban...”
2. Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan. Nafkah adalah perkara yang sudah tercantum / tertulis dalam al-Qur’an surat Ath-Thalaq:[6]
اسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولاتضاروهن لتضيقوهن عليهن...(الطلاق : 6)
“tempatkanlah mereka (istrimu) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka... ”
3. Menggauli istri dengan penuh kasih sayang. Kewajiban suami untuk mewathi’, menurut Imam Hambali suami wajib mewathi’ istrinya dalam empat bulan satu kali. Karena, jikalau tidak diwajibkan tidak jadi sumpah Ila’, dan juga nikah itu disyariatkan untuk kemaslahatan suami istri dan menolak bahaya yang akan terjadi pada keduanya. Tapi menurut Imam Syafi’i wajib mewathi’nya satu kali, lain halnya dengan Imam Maliki yang mewajibkan suaminya harus mewathi’ istrinya jika tidak ada halangan.[7]
4. Suami harus mendidik istrinya ketika bermaksiat, karena Allah memerintahkan pada kita untuk mendidik perempuan dengan pisah ranjang dan memukul apabila dia tidak taat. Firman Allah:
...والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن...(النساء : 24)
“...perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tempatkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka...” (Q.S. An-Nisa’:24)
5. Memimpin dan membimbing seluruh keluarga ke jalan yang benar[8], hadits Nabi:
وعن ابن عمر رضى الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : كلكم راع وكلكم مسئول عن راعيته والامير راع والرجل راع على اهل بيته والمراة راعية على بيت زوجها وولده فكلكم راع وكلكم مسئول عن راعيته (متفق عليه) 
dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi SAW. Beliau bersabda “kamu semua adalah pemimpin dan kamu bertanggung jawab terhadap bawahanmu. Seorang amir (pemerintah) adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin di kalangan keluarganya, dan seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Jadi, kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (Muttafaqun Alaihi).[9]
B. Hak Dan Kewajiban Istri Terhadap Suami
a. Sang istri mempunyai hak kebendaan حقوق المالية seperti halnya mahar, nafkah dan hak bukan kebendaan حقوق غير المالية  yang berupa ketentraman atau kelayakan hidup dan diperlakukan secara adil.[10]
1. Hak mendapatkan mahar dari suami. Mahar yang diterima oleh istri merupakan hak khusus perempuan yang tidak bisa digangu-gugat, mahar tersebut bisa berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya yang berharga.[11]
2. Hak istri untuk digauli dengan baik, dalam hal ini Allah menegaskan dalam firman-Nya Q.S. An-Nisa’ ayat 19 yang berbunyi[12]:               (النساء : 19)...وعاشروهن باالمعروف...
“...dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan baik...”
3. Hak diberi nafkah, sesuai dengan hadits nabi:
وعن معاوية القشري : ان النبي صلى الله عليه وسلم سأله رجل : ما حق المرأة على الزوج؟ قال : تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا اكتسيت ولا تضرب الوجه ولا تقبح ولاتهجر الا في البيت (رواه احمد وابو داود وابن ماجه)
dari Mu’awiyah Qusyairi: suatu ketika Nabi ditanya oleh seorang laki-laki; apa hak istri terhadap suaminya? Beliau menjawab, memberinya makanan, jangan memukul wajahnya, jangan mencacinya dan jangan ......kecuali dirumahnya. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)[13] 
4. Hak untuk diperlakukan dengan adil. Meskipun sanag istri harus melayani suaminya-apapun yang dia suruh, kecuali dalam kemunkaran-suami tidak boleh semena-mena bisa menyuruh istrinya untuk melakukan pekerjaan berat seperti memindahkan barang atau perabot rumah tangga yang berat dan hal itu tidak bisa dikerjakan oleh sang istri.[14]
b. Kewjiban istri terhadap suami
1. Taat pada suami, saking harus taatnya pada suami Nabi bersabda:
لا يحل لامراة ان تصوم وزوجها شاهد الا باذنه ولا تأذن في بيته الا باذنه (متفق عليه عن ابي هريرة)
dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda “bagi seorang perempuan tidak diperkenankan berpuasa bila suaminya di rumah, kecuali seizin dengannya. Tidak  juga memberikan izin (laki-laki lain) untuk  masuk ke rumahnya, kecuali mendapaykan izin darinya.” (H.R. Abu Hurairah, Muttafaqun Alaihi)[15]
2. Istri harus amanah, istri wajib menjaga dirinya, rumah, harta dan anaknya ketika suaminya tidak ada. Tugas menjaga amanah sebagai kepala rumah tangga-selain suami-juga merupakan tanggung jawab istri. Ketika suami bepergian atau bekerja di luar rumah maka istrilah yang harus menggantikan tugas suami untuk menjaga harta dan nama baik keluarganya.[16]
3. Bergaul dengan baik, dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 19. Hal ini sama dengan hak istri terhadap suami.[17]
4. Istri harus sabar atas jeleknya akhlak suaminya, dan Allah akan memberi pahala seperti pahalanya Asiyah istri fir’aun.[18]
C. Hak dan Kewajiban Bersama Suami dan Istri
a. Hak bersama suami istri
1. Hak untuk melakukan hubungan seksual. Sebagaimana biasa, hubungan seksual merupakan kebutuhan biologis, untuk memperbanyak keturunan, selain itu juga dianjurkan dalam Islam untuk memperbanyak keturunan.
2.  Berhak mengajukan gugatan atau cerai apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya masing-masing.
3. Kedua belah pihak berhak untuk mewariskan harta-hartanya.
        
b. Kewajiban bersama suami istri
1. Memelihara anak-anak dengan penuh tanggung jawab. Orang tua merupakan media atau orang pertamakali yang mendidik anak, karena orang tualah yang memilkli peran aktif dalam kehidupan sehari-hari.
2. Saling menutupi kesalahan dan kekurangan dalam rumah tangga dan selalu menjaga keutuhannya.
3. Suami istri harus mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
4. Suami istri harus saling mencintai satu sama lain, saling menghormati dan saling membantu lahir batin dalam kehidupan berumah tangga[19].










BAB III
KESIMPULAN
a.      Hak suami terhadap istri yang meliputi:
1.        Hak menggauli istri
2.        Hak untuk ditaati
3.        Hak tidak mengizinkan laki-laki lain untuk masuk kedalam rumahnya kecuali mendapatkan izin dari suaminya
4.        Hak untuk menyuruh istri untuk berdiam diri di rumah
5.        Hak suami untuk mewathi’atau menggauli

b.      Kewajiban suami terhadap istri meliputi
1.        Membayar mahar kepada sang istri
2.        Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan
3.        Menggauli istri dengan penuh kasih sayang
4.        Suami harus mendidik istrinya
5.        Memimpin dan membimbing seluruh keluarga ke jalan yang benar

a.      Hak istri terhadap suami yang meliputi:
1.        Hak mendapatkan mahar dari suami
2.        Hak istri untuk digauli dengan baik
3.        Hak diberi nafkah
4.        Hak untuk diperlakukan dengan adil

a.      Kewajiban istri terhadap suami meliputi
1.        Taat pada suami
2.        Istri harus amanah
3.        Bergaul dengan baik
4.        Istri harus sabar atas jeleknya akhlak suaminya

a.  Hak bersama suami istri
1. Hak untuk melakukan hubungan seksual
2. Berhak mengajukan gugatan atau cerai apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya masing-masing
3. Kedua belah pihak berhak untuk mewariskan harta-hartanya
a.  Kewajiban bersama suami istri
1. Memelihara anak-anak dengan penuh tanggung jawab
2. Saling menutupi kesalahan dan kekurangan dalam rumah tangga dan selalu menjaga keutuhannya.
3. Suami istri harus mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah
4. Suami istri harus saling mencintai satu sama lain, saling menghormati dan saling membantu lahir batin dalamkehidupan berumah tangga












DAFTAR PUSTAKA
v Tanpa Pengarang, Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliah SKIA, Sumenep: A Latee Printing, 2013.
v An-Nawawi Ad-Dasymiqi, Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarif, Riyadhush Shalihin, Surabaya: Al-Hidayah,1997.
v Nawawi, Syaikh Muhammad bin Umar, ‘Uqudul Lujjain, Surabaya: Mahkota.
v Az-Zakhili, Wahbah, Al-Fiqhu Al-Islamiyu Wa Adallatuhu, Damaskus: Daarul Fikri, 1985.
v Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996.


[1] Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dasymiqi, Riyadhush Shalihin, halaman. 376
[2] Ibid. Halaman. 378
[3] Ibid. Halaman. 376
[4] Ibid. Halaman. 375
[5] Dr. Wahbah Az-Zakhili, Alfiqhu Al-Islamiyu Wa Adallatuhu, halaman. 329
[6] Ibid. Halaman. 328
[7] Ibid. Halaman. 329

[8] Tanpa Pengarang, Syarat-Syarat Kecakapan Ibadah Amaliah, halaman. 142
[9] Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dasymiqi, Riyadhush Shalihin, halaman. 377

[10] Dr. Wahbah Az-Zakhili, Alfiqhu Al-Islamiyu Wa Adallatuhu, halaman. 327
.
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, halaman 365 dan juga lihat karanan Dr. Wahbah Az-Zakhili, Al-Fiqhu Al-Islamiyu Wa Ada;atuhu, halaman 327
[12] Dr. Wahbah Az-Zakhili, Al-Fiqhu Al-Islamiyu Wa Adalatuhu, halaman 328

[13] Dr. Wahbah Az-Zakhili, Al-Fiqhu Al-Islamiyu Wa Adalatuhu, halaman 328

[14] Ibid. Halaman 329
[15] Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi Ad-Dasymiqi, Riyadhush Shalihin, halaman. 376


[16] Dr. Wahbah Az-Zakhili, Al-Fiqhu Al-Islamiyu Wa Adalatuhu, halaman 337
[17] Ibid. Halaman 338
[18] Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi, ‘Uqudul Lujjain, halaman. 05
[19] Dr. Wahbah Az-Zakhili, Al-Fiqhu Al-Islamiyu Wa Adalatuhu, halaman 342-43