Makalah
HUKUM-HUKUM SYARA’
Di ajukan untuk memenuhi tugas,
Materi ushul fiqih
Dosen Pengampu
H. Ruslan Lc. Ma
Disusun oleh
Kelompok VI
Nawafil makhatir
Rb. Abd. Ghani
Sabaruddin
syarifuddin
FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) III B
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH
(INSTIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP JAWA TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2015-2016 M.
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar belakang
Pembahasan tentang hukum syara’
adalah salah satu dari beberapa objek kajian Ushul Fiqh. Bahkan tujuan utama dari
studi ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dan
sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam
kajian ini, maka lebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu sendiri
serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna
hukum-hukum yang digali dari syariat Islam. Berbicara tentang hukum syara’
melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya,
seperti pembicaraan tentang al-hukm, al-mahkum fih/mahkum bih (perbuatan
manusia), dan tentang al-mahkum ‘alaih (mukalaf). Oleh karena itu, pada bab II
akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Berapa macam pembagian hukum syara’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian hukum syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm)
berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm)
berarti: Khitab (kalam) Allah Swt yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf,
baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan
atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir(kebolehan bagi orang
mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Kitab Allah yang dimaksud dalam definisi
di atas ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalahal-kalam
al-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf
dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakikat hukum
syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melaluikalam
lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam
nafsi Allah Swt. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal
sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung
olehkalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh
manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat
Al-Qur’an, maka populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud
dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal
perbuatan manusia.
Kalam Allah adalah hukuman baik
langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung
seperti hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah yang mengatur amal
perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak
langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidangtasyri’ tidak
lain petunjuk dari Allah Swt juga.
Dengan demikian, apa yang disebut
hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan
teks hadits ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama,
antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian kitab
dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam
Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti
sunnah Rasulullah Saw, ijma’ dan dalil-dalil syara’ lain
yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya.
Sunnah Rasulullah dianggap sebagai
kalam Allah secara tidak langsung karena merupakan petunjuk-Nya juga sesuai
dengan Firman Allah Swt:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm/53:
3-4)
Kedua ayat di atas menjelaskan
bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan
wahyu. Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an atau
Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah
dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari
wahyu. Dengan demikian, kitab Allah dalam definisi hukum di atas, mencakup
semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh syara’, sehingga apa yang dimaksud
dengan kitab dalam definisi di atas adalah ayat-ayat hukum dan hadis-hadis
hukum. Misalnya firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”. (Al- Maa’idah/5: 1)
Bagian awal ayat tersebut adalah
ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji. Jadi, yang disebut hukum dalam
kajian Ushul Fiqh adalah teks ayat atau Sunnah Rasulullah yang mengatur amal
perbuatan manusia, yang populer disebut sebagai ayat-ayat ahkam dan
hadits-hadits ahkam.
Bila dicermati definisi di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat
dikategorikan kepada beberapa macam, yaitu:
a.
Perintah untuk
melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu
sifatnya wajib.
b.
Larangan melakukan
suatu perbuatan. Perbuatan yang dilarang itu sifatnya haram.
c.
Anjuran untuk melakukan
suatu perbuatan dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya
mandub.
d.
Anjuran untuk
meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalakan itu
sifatnya makruh.
e.
Memberi kebebasan untuk
memilih antara melakukan atau tidak melakukan dan perbuatan yang diberi pilihan
untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.
Menetapkan sesuatu
sebagai sebab.
g.
Menetapkan sesuatu
sebagai syarat.
h.
Menetapkan sesuatu
sebagai mani’ (penghalang).
i.
Menetapkan sesuatu
sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j.
Menetapkan sesuatu
sebagai kriteria “azimah dan rukhasah.
Pembagian ayat hukum dan hadits
hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus memberikan informasi tentang
cirri-ciri ayat ayat ahkam dan hadits ahkam. Artinya, untuk membedakan mana
yang ayat ahkam atau hadits ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan menggunakan
ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi adalah:
Pertama,
bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh, istilah hukum di samping
digunakan untuk menyebut teks-teks ayat atau hadits-hadits hukum, juga
digunakan untuk menyebut sifat dari perbuatan yang menjadi objek dari hukum
itu. Dalam pembagian di atas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan
shalat sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan
sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh dan yang
dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah. Maka sifat wajib, haram, mandub,
makruh dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan itu dikenal dengan hukum
syara’. Dengan demikian, hukum shalat, misalnya adalah wajib dan meminum khamr
adalah haram. Adanya dua bentuk pemakaian tersebut tidak perlu dipertentangkan.
Sebab, pemakaian istilah hukum kepada teks ayat atau hadits karena melihat
kepada dalil dan proses terbentuknya hukum. Sedangkan pemakaiannya kepada sifat
perbuatan mukalaf yang terkena hukum karena melihat kepada hasilnya.
Penggunaan istilah hukum kepada
teks ayat ahkam dan teks hadits ahkam dapat dilihat ketika membicarakan
dalil-dalil hukum, seperti pembicaraan tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan
pemakaian istilah hukum kepada sifat perbuatan mukalaf dapat dilihat ketika
membicarakan pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam perkembangannya,
kalangan Hanafiyah, seperti di kemukakan Wahbah az-Zuhaili, lebih cenderung
mengartikan hukum dengan sifat perbuatan mukalaf tersebut, sehingga apa yang
disebut hukum taklifi menurut mereka adalah wajib, haram, mandub, makruh dan
mubah. Kecenderungan ini diikuti pula oleh ahli-ahli fikih dari kalangan
mayoritas ulama. Di bawah ini akan diuraikan pembagian hukum bila dilihat
kepada hasilnya. Perbedaan pendapat tersebut bukan tidak mempunyai akibat
hukum. Sebab, menurut mayoritas ulama hukum adalah qadim karena merupakan
kalam nafsi Allah yang merupakan salah satu sifatnya. Sedangkan menurut
kalangan Hanafiyah, hukum adalah baru karena merupakan pengaruh kalam Allah
terhadap perbuatan manusia.
Kedua,
seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat ahkam
atau hadits ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya
terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul itu ada yang secara
langsung ditunjukkan oleh teks Al- Qur’an dan Sunnah dan ada pula yang
secara tidak langsung ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat
atau hadits yang disimpulkan oleh para ahlinya dengan kegiatan ijtihad, seperti
yang ditetapkan dengan ijma’, qiyas, dan dalil-dalil hukum lainnya
seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan-ketentuan seperti itu adalah
ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah.
Hukum syara’ adalah
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
Islam.[1]
B.
Pembagian hukum
syara’
Bertitik tolak dari hukum syar’i diatas, maka hukum
syara’ itu dapat dibedakan menjadi dua:[2]
1. Hukum
taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntunan
dan pilihan, penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah disini langsung
mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf.
Macam-macam hukum taklifi:
a)
Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti
tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd. al-Karim Zaidan,
ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib adalah sesuatu yang diperintahkan
(diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf,
dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila
tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa sesuatu yang diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat
setiap mukalaf. Jika dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak
dilaksanakan diancan dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk dilakukan (wajib)
bisa diketahui langsung dari bentuk perintah atau dengan adanya qarinah
(indikasi) yang ada dalam suatu redaksi, misalnya adanya ancaman atas diri
orang yang tidak melaksanakannya. Misalnya, shalat fardhu lima waktu dalam satu
hari satu malam hukumnya wajib dalam arti mesti dilaksanakan, berdosa siapa
yang meningglkannya. Hukum wajib shalat itu diketahui dari adanya perintah
dalam Al-Qur’an dalam surat al-‘Ankabut ayat 45:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hukum wajib ditunjukkan oleh
berbagai perintah (amar), baik secara langsung atau oleh qarinah-qarinah yang
ada dalam suatu redaksi.
b)
Sunnah (nadb)
Kata mandub dari segi bahasa
berarti”sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut istilah adalah suatu
perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala
orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak
melaksanakannya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’,
ihsan dan fadilah. Istilah-istilah tersebut menunjukkan pengertian yang sama.
c)
Haram
Kata haram secara etimologi berarti
“sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi Ushul Fiqh, kata
haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang
yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang
yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larangan
berzina dalam firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk”. (QS. Al-Isra’/17: 32)
Larangan membunuh dalam firman
Allah Swt:
رحيما بكم كان الله إن أنفسكم تقتلوا ولا
“… Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang Kepadamu”. (QS.
An-Nisa’/3: 29)
Dalam kajian Ushul Fiqh dijelaskan
bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu
mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu
yang diharamkan).
d)
Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti
“sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh kata makruh, menurut mayoritas
ulama Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meniggalkannya,
di mana bilamana ditinggalkan akan mendapatkan pujian dan apabila dilanggar
tidak berdosa. Misalnya, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab
Hanbali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung
secara berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadhan karena
dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerongkongan dan tertelan.
e)
Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “
sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. “ menurut istilah Ushul Fiqh, seperti
dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, mubah yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh
syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan
tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Misalnya, ketika ada cekcok yang
berkepanjangan dalam rumah tangga dan dikhawatirkan tidak lagi akan dapat hidup
bersama, maka boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada
suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan petunjuk Allah dalam
firman-Nya:
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS.
Al-Baqarah/2:229)
2. Hukum
wadh’i
Hukum wadh’i adalah titah Allah yang berbentuk ketentuan
yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari
menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Macam-macam wadh’i:
a)
Sebab
Sebab adalah sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum
menjadi sebab terjadinya hukum taklifi.
b)
Syarat
Syarat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum
menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi.
c)
Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai
penghalang berlangsungnya hukum taklifi.
d)
Shah
Shah adalah akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi
yang sudah berlaku padanya sebab, sesudah terpenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dan telah terhindar dari segala mani’.
e)
Bathal
Bathal adalah akibat dari suatu perbuatan taklifi yang
tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi keduanya tetapi terdapat
padanya mani’.
f)
‘Azimah
Pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa
memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya.
g)
Rukhshah
Rukhshah adalah pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan
dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum syara’ adalah
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
Islam. Adapun pembagian hukum syara’, yaitu:
1.
Hukum taklifi
Hukum taklifi
terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a.
Wajib
b.
Haram
c.
Sunnah
d.
Makruh
e.
Mubah
2.
Hukum wadh’i
Hukum wadh’i dibagi
menjadi tujuh macam, yaitu:
a.
Sebab
b.
Syarat
c.
Mani’
d.
Shah
e.
Bathal
f.
‘Azimah
g.
Rukhshah
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul
Fiqh. Kencana: Jakarta. Edisi Pertama.
Wahhab, Abdul. 1998.
Ilmu Ushul Fikih ( Kaidah Hukum Islam). Pustaka
Amani: Jakarta.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul
Fiqh 1. Jakarta: logos wacana ilmu.